![]() |
| Ical Syamsudin, Sekretaris Jenderal DPN Lembaga Anti Korupsi Republik Indonesia (LAKRI) |
Jakarta, Topikbidom.com - Komisi Pemberantasan Korupsi dipromosikan sebagai malaikat penyelamat republik. Ia dipuja sebagai simbol keberanian, harapan terakhir rakyat terhadap keadilan, dan alat pemutus mata rantai korupsi yang telah menggurita sejak negara ini berdiri.
Namun sejarah kekuasaan selalu mengajarkan satu hal pahit, tidak ada institusi yang lahir di ruang hampa, dan tidak ada kekuasaan yang netral tanpa kepentingan.
Muncul pertanyaan yang mendasar dan tak terelakkan, KPK itu milik siapa, dan bekerja untuk kepentingan siapa?
Proposal yang Datang Dari Luar Negeri, Dilahirkan di Dalam Negeri
Tak dapat dipungkiri, pasca-reformasi Indonesia berada dalam posisi paling rapuh dalam sejarah kedaulatannya.
Krisis ekonomi, utang luar negeri, ketergantungan pada lembaga donor internasional, serta masuknya berbagai resep dari Barat menjadi paket lengkap yang diterima tanpa banyak perlawanan.
Dalam konteks inilah, gagasan pembentukan lembaga superbody antikorupsi muncul, bukan sebagai inisiatif murni dari kesadaran nasional, melainkan sebagai bagian dari agenda tata kelola global.
Proposal pembentukan KPK bukan barang baru di dunia internasional
KPK merupakan produk standar dari pendekatan good governance yang didorong negara-negara adidaya, khususnya Amerika Serikat, melalui jaringan lembaga donor, konsultan hukum, dan program pendidikan elite negara berkembang.
Proposal ini lalu dititipkan kepada anak-anak ideologisnya yaitu para pejabat, teknokrat, dan elite politik yang pernah digembleng dalam sistem pendidikan dan pelatihan Barat, yang kelak menduduki posisi strategis dalam negara.
Dari sinilah KPK lahir. Secara formal sah. Secara moral dipuja. Namun secara geopolitik, ia tidak pernah benar-benar steril dari kepentingan asing.
Mesin Pemotong Karier Bernama "Pemberantasan Korupsi"
Dalam praktiknya, KPK berkembang bukan hanya sebagai lembaga penegak hukum, melainkan mesin pemotong karier politik. Ia menjadi alat amputasi yang sangat efektif, tajam, cepat, dan nyaris tanpa ruang pembelaan publik. Siapa yang menjadi target? Bukan mereka yang paling korup, melainkan mereka yang tidak sejalan dengan arus kepentingan besar.
Pejabat yang menolak privatisasi, menentang liberalisasi sumber daya alam, atau berani bicara tentang kedaulatan ekonomi nasional, sering kali mendadak tersandung kasus. Proses hukum berjalan, opini publik dibentuk, dan dalam sekejap karier politik hancur. Publik pun bersorak, Itu bukti KPK bekerja! Padahal yang terjadi sering kali bukan penegakan keadilan, melainkan penertiban politik.
Asing, Aseng, Asong dan Elite Lokal KPK tidak bekerja sendirian
Ia beroperasi dalam ekosistem kekuasaan yang lebih besar, di mana kepentingan asing, baik Barat, Timur, maupun modal global, bertemu dengan elite lokal yang haus legitimasi. Di sinilah terjadi simbiosis:
1. Asing menyediakan narasi, dukungan, dan legitimasi internasional.
2. Elite lokal menyediakan akses, regulasi, dan perlindungan politik.
3. KPK menjadi alat legitimasi moral untuk menyingkirkan lawan.
Maka jangan heran jika KPK tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Berani kepada pejabat tertentu, namun senyap terhadap aktor besar yang bermain di balik layar, terutama yang terhubung dengan kepentingan modal global.
Dari Lembaga Rakyat Menjadi Alat Elite
Ironisnya, KPK yang semula dipersepsikan sebagai lembaga milik rakyat, kini lebih sering berfungsi sebagai alat elite Indonesia sendiri, elite yang telah lama terkooptasi oleh kepentingan asing. Ia dijadikan tameng moral untuk saling bantai antar-faksi kekuasaan, bukan untuk membongkar sistem korupsi yang sesungguhnya.
Korupsi struktural, yang lahir dari sistem ekonomi eksploitatif, utang luar negeri, dan ketergantungan pada modal asing, tidak pernah benar-benar disentuh. Yang ditangkap hanyalah aktor-aktor level menengah, sementara arsitek sistem tetap aman, tersenyum, dan dielu-elukan sebagai mitra pembangunan.
KPK dan Ilusi Keadilan, KPK hari ini bukan lagi sekadar lembaga hukum. Ia adalah instrumen politik dalam medan kekuasaan global dan domestik. Selama akar masalah korupsi, yakni sistem ekonomi dan politik yang tunduk pada kepentingan asing, tidak disentuh, maka KPK hanya akan menjadi alat kosmetik demokrasi.
Rakyat perlu sadar, bahwa pemberantasan korupsi tanpa kedaulatan hanyalah ilusi keadilan. Dan lembaga yang lahir dari titipan kepentingan, pada akhirnya akan setia pada tuannya, bukan pada rakyat.(*)
Penulis, Ical Syamsudin, Sekretaris Jenderal DPN Lembaga Anti Korupsi Republik Indonesia (LAKRI)
Komentar