Fondasi Religi Adagium Dompu: Nggahi Rawi Pahu

Kategori Berita


Iklan Semua Halaman

.

Fondasi Religi Adagium Dompu: Nggahi Rawi Pahu

Selasa, 05 Januari 2021
Kabupaten Dompu (Bumi Nggahi Rawi Pahu)



Oleh : Helius Sjamsuddin

Rasa ro Dana Dompu (Kabupaten) mempunyai Adagium atau motto yang berbunyi Nggahi, Rawi, Pahu. Dalam bahasa Inggris istilah adage (Adagium) mempunyai sinonim yang cukup banyak selain motto Aphorism, apothegm, axiom, catchphrase, formula, Maxim, shibboleth, watchword, yang lebih hebat rallying cry. Bahkan Battle cry atau war cry dan lain lain.


Ini semacam semboyan ditulis bahkan kemudian diucapkan dalam sebuah kalimat atau frasa beberapa kata singkat, yang dipilih seseorang, keluarga, lembaga, organisasi, perkumpulan, bahkan negara, yang menjadi esensi padat yang merangkum cita cita idealnya.


Misalnya, NKRI Bhinneka Tunggal Ika. Amerika Serikat, E unum pluribus atau kemudian In God we trust. Inggris Raya, Dieu et Mon Droit. Perancis Liberte, Egalite, Fraternite. Spanyol, Plus Ultra. Portugal, Esta e a Ditosa Patria Minha Amada. Belanda, Je Mantiendrai. Negara negara Islam Timur Tengah seperti Iran, Allahu Akbar. Irak, Allahu Akbar. Saudi Arabia, La ilahailla, Muhammadur - rasulul-Lah  dan lain lain, sejumlah negara besar yang lain. 


Dompu sebagai sebuah Kabupaten yang dahulunya sebuah kerajaan/kesultanan seperti halnya Kabupaten Bima, mempunyai motto Nggahi, Rawi, Pahu. Orang Dompu semua harus tau dan hafal artinya serta mengamalkannya.


Tapi bagaimana sejarah asal usul pemakaiannya serta dasar dasar sumber esensialnya yang seharusnya dipraktekkan masa sekarang dan masa depan ?


Tulisan ini ingin menunjukkan salah satu versi. Jika ada orang Dompu yang punya versi lain perlu pula diinformasikan sehingga bisa memperkaya pemahaman kita tentang asal - muasal motto Rasa ro Dana Dompu ini.


Pada Tahun 1978 - 1979 saya di Negeri Belanda dalam rangka mengumpulkan bahan bahan tentang sejarah daerah. Saya cukup Ilustrasi ketika dalam melakukan penelitian arsip, ternyata tidak banyak bahan tentang Dompu yang dapat saya kumpulkan dan gunakan untuk sebuah disertasi. 


Ketika saya pulang ke tanah air setelah 15 bulan disana, seorang sahabat Belanda memberitahu ketika dia ingat saya Sumbawa (Dompu). Ia mengatakan, pada tahun 1945 seorang antropolog Belanda Prof. (G) errit (J)an Held (1906-1955) yang jadi guru besar Antropologi di Universitas Indonesia, Jakarta. Bersama asistennya (ketika itu) (Prof) Koentjaraningrat (1928-1999) datang melalukan penelitian a.I. ke Dompu. 


Dalam penelitian lapangan ini, mereka melakukan wawancara wawancara sambil merekam hasilnya pada tape recorder (ukuran tahun 1954 alat perekam ini sudah dianggap modern sekali. Tapi seperempat abad kemudian tahun 1979 sudah sangat kuno).


Karena kepulangan saya tidak bisa ditunda, sahabat itu menjanjikan - kalau masih bisa - mereka ulang dengan mengkopinya dari tape recorder kuno itu. Alhamdulillah, beberapa tahun kemudian ketika sahabat itu kebetulan datang ke Indonesia. Ia menyerahkan beberapa kaset yang ketika diputar ulang masih dapat saya transkripsi kan dan gabungkan dengan hasil koleksi penelitian saya sendiri tahun 1959 di Dompu, Adu dan Hu'u (ketika itu saya masih menjadi mahasiswa tingkat dua di jurusan Sejarah Budaya, FKIP Bandung).


Pada tahun 1959 di Dompu saya sudah mendengar tantang kedatangan kedua Antropolog itu, Prof Held dan Koentjaraningrat. Tidak terbayang bahwa saya di negeri Belanda tahun 1978 - 1979 akan mendapatkan secara kebetulan dokumen rekaman itu.


Dari rekaman yang kemudian saya transkripsikan, saya tahu bahwa pada tahun 1954 para informan sudah menyebut dalam sebuah dialog Nggahi Panati (Bahasa Pinangan) tentang istilah Nggahi, Rawi, Pahu. Rupanya setelah ada kesepakatan antara dua belah pihak dalam sebuah proses peminangannya antara wakil pihak laki laki (ta mone kai) dan wakil pihak perempuan (ta siwe kai) bahwa peminangan itu diterima, maka pihak perempuan berpesan sungguh sungguh pada wakil pihak laki laki sebagai berikut :


Pala ta raho ku (tapi ku mohon)

Di Ruma Alla (h) talla (pada Allah subhanahuwataala) 

Ai To'i Na (janganlah kiranya)

Nggahi da ma ndinga (perbuatan yang tidak disertai)

La'o (labo) Rawi (Dengan Perbuatan)

Rawi ma da ndinga (perbuatan yang tidak disertai)

La'o (labo) Pahu (Dengan Wujud/Bukti Nyata)


Jika di tahun 1950an saja ketiga konsep sudah dikenal dan dipakai dalam interaksi antara warga, mari kita bisa berasumsi bahwa sebenarnya istilah juga sudah dikenal dan dipakai puluhan kalau tidak ratusan tahun sebelumnya setelah agama Islam dianut di Dompu.


Selanjutnya, dari sumber lain yang tidak selalu berkaitan dengan pinang meminang tapi menyangkut kesepakatan apapun diantara dua belah pihak yang melanggar atau tidak menepati janji, ada semacam sumpah sebagai hukuman bagi pihak pelanggar janji :


Cou cou dou ma ura sake (siapa siapa saja yang melanggar janji)

Na woko rontu di Wawo kontuna (akan tumbuh semak dipunggungnya)

Di uma ruka na ba afi naraka (dijadikan rumahnya api neraka)


Jelas yang menjadi dasar sensual dari Nggahi, Rawi, Pahu adalah Al-Qur'an. Khususnya, surah As-shaff (61): 2-3. Sebagai kerjaan Islam ketika itu, para penguasa dan rakyat menggunakan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah sebagai pedoman hidup mereka. 


Belanda telah meninggalkan catatan sejarah  bahwa Dompu pernah mempunyai salah seorang penyiar Islam terkemuka, ulama besar Syekh Abdul Gani (Sjamsuddin, 2013:52) dan salah seorang putranya yaitu Syekh Mansur pernah terlibat dalam perang Dena (bagian dari perang Ngali) Tahun 1908 (Sjamsuddin 2013:138). Jadi ajaran ajaran Islam sudah lazim dalam kehidupan sehari-hari rakyat Dompu. Coba kita lihat berturut turut isi surat As-Shaff (61) 2-3.





Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit Pahu (Wujud/Bentuk Nyata dari Nggahi dan Rawi). Tapi secara implicit kita bisa menarik kesimpulan bahwa: Bagiamana mungkin ada Pahu jika apa yang dikatakan (Nggahi) dan dikerjakan (Rawi) tidak pernah dilakukan ?


Bahkan bisa jadi hanya terbatas pada Nggahi mpoa tiba tuba Karawi au ra Nggahi ro sake ma de, singkatnya Nggahi ro sake cowa. Jadi tiga konsep Nggahi, Rawi, Pahu yang diangkat dan dijadikan motto atau semboyan oleh pemerintah daerah dan rakyat Dompu adalah tepat sekali karena di dalamnya mengandung pesan pesan religi, moral serta etika. Dan ini yang menjadikannya mulai dan agung.


Salah satu realisasi dari motto ini, akan kita saksikan nanti dalam pemilihan kepala daerah untuk Dou Labo Rasa Ro Dana Dompu. Pemilihan ini adalah miniatur pemilihan yang sudah dilakukan ditingkat pusat. 


Nanti pasti akan ada janji janji (Nggahi ro Sake) para kandidat, apa saja nanti yang dikerjakan kalau nanti sudah terpilih (Rawi) untuk Dompu dan rakyatnya dan diimajinasikan harapan harapan hasil nyata yang akan ditampilkan (Pahu). Pokoknya di ulang dulu sebanyak banyak suara rakyat.


Nanti kalau sudah terpilih rakyat akan melihat bukti bukti bahwa semuanya selaras antara Nggahi, Rawi, Pahu. Sebaiknya kita harus baik sangka untuk semua kandidat. Mari kita doakan kepala daerah kita nanti berkaliber negarawan (statesman) bukan kaliber politisi (politician). 


Apa bedanya, mari kita kutip James Freeman Clarke (1880-1888) "The Difference between a politician and a statesman thinks about the next generation" Wallahua'alam bish-shawabi.


Helius Sjamsuddin, Bandung/Dompu, 21 Agustus 2020. (*)






(Penulis H Helius Sjamsuddin, Prof. Ph.D. MA, Guru besar sejarah pada Universitas Pendidikan Indonesia (U.P.I) Bandung, yang juga selaku penggagas Hari Jadi Dua Kabupaten Bima dan Dompu).